Powered By Blogger

الثلاثاء، 12 مارس 2013

Studi Kasus Ilmu Sosial Budaya Dasar


Pasca-Bentrok, Sentani Masih Mencekam

JAYAPURA - Dua hari pascabentrokan berdarah antar suku Yahim Sentani dan suku Pegunungan Papua, situasi kampung Yahim Sentani hingga siang ini masih mencekam.

Pantauan okezone di lapangan, Senin (24/8/2009), sejumlah warga masih berjaga-jaga disekitar tempat bentrokan. Polisi juga nampak masih bersiaga di jalan-jalan sekitar kampung Yahim, Sentan.

Warga yang berjaga-jaga di depan rumah nampak membawa
 peralatan perang tradisional seperti panah, tombak, dan parang. Sementara itu, warga pendatang lainnya yang sejak Minggu malam kemarin mengungsi keluar dari kampung Yahim, hingga kini belum berani kembali karena khawatir akan ada serangan susulan oleh massa dari suku Pegunungan.

Rencananya, hari ini kedua Kepala Suku akan bertemu untuk membicarakan jalan keluar dari konflik. Warga kampung Yahim mengaku masih menunggu salah satu korban luka luka tikam yang saat ini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Dok Dua Jayapura.

PEMBAHASAN

Kasus di atas mengenai bentrok antar suku Yahim Sentani dan suku Pegunungan Papua yang masih mencekam, meskipun peristiwa tersebut telah berakhir. Terlihat masih tampak sejumlah warga yang berjaga-jaga dengan membawa peralatan perang tradisional dan polisi yang  juga masih bersiaga di jalan-jalan sekitar kampung Yamin, Sentani. Sementara itu, warga pendatang lain masih mengungsi karena khawatir akan ada serangan susulan oleh massa dari suku Pegunungan. Meskipun, rencananya kedua kepala suku akan bertemu untuk membicarakan jalan keluar dari konflik tersebut.
Berbagai  upaya yang dapat dilakukan agar peristiwa di atas tidak terjadi lagi, antara lain: (1) membangun kehidupan multikultural yang sehat dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Misalnya, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya, memupuk dan mengembangkan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya, pemahaman lintas budaya, pembelajaran lintas budaya; (2) peningkatan peran media sebagai mediator antar budaya dengan menampilkan berbagai informasi yang apresiatif terhadap budaya masyarakat lain; (3) strategi pendidikan yang berbasis budaya, yakni menggunakan model dan strategi pembelajaran yang menyeimbangkan proses homonisasi dengan humanisasi. Homonisasi melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologi, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan global. Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral, sensitivitas dan kedaulatan budaya.
Pengaruh yang ditimbulkan dari beberapa upaya di atas adalah: (1) pengaruh positif membangun kehidupan multikultural yang sehat dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya, yakni: mampu menegakkan prinsip kesetaraan/kesederajatan antarmasyarakat, mampu mengelola konflik, yang mungkin timbul dari situasi keragaman agar tidak mengarah pada kekerasan, sehingga pada akhirnya dapat terwujud cita-cita bersama yang dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, menghilangkan penyakit-penyakit budaya yakni etnosentrisme stereotip, prasangka, rasisme, diskriminasi, scape goating; (2) pengaruh positif media massa, yakni: kontribusi dalam menyebarluaskan dan memperkuat kesepahaman antarwarga, pemahaman terhadap adanya kemajemukan sehingga melahirkan penghargaan terhadap budaya lain, sebagai ajang publik dalam mengaktualisasikan aspirasi yang seragam, sebagai alat kontrol publik masyarakat dalam mengendalikan seseorang, kelompok, golongan, atau lembaga dari perbuatan sewenang-wenang, meningkatkan kesadaran terhadap persoalan sosial, politik, dan persoalan lain di lingkungannya; pengaruh negatif media massa yakni: terpinggirkannya kesenian asli Indonesia karena masyarakat banyak disuguhi tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam dan lebih menarik dibandingkan dengan kesenian tradisional daerahnya, pengikisan nilai-nilai budaya nasional yang positif; (3) pengaruh positif strategi pendidikan berbasis budaya, yakni: mampu membangun sikap saling mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi antarwarga daerah, dapat menghargai kemajemukan, dapat mengembangkan sikap keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, dan memupuk kesadaran kebersamaan dalam mengarungi sejarah, serta dapat siap menghadapi arus perubahan.

Sumber:
Nur Rahmatika Adriyati dalam http://news.okezone.com/read/2009/08/24/1/250767/pasca-bentrok-sentani-masih-mencekam diakses tanggal 17 April 2012 pukul 09:45 WIB.

Dwi Tologi Cerpen


Torehan Cinta Sang Bunda



      NYAI RAKIYEM, nenek tua yang suka  nyusur (menjejali mulutnya dengan sirih, gambir, dan tembakau) selalu memakai baju kemben dan rok jarik (kain batik), rambut di gelung (diikat tapi tidak memakai jepit), serta tidak pernah memakai alas kaki. Ia selalu tinggal sendiri di gubug yang tampak kumuh dan reyot. Di dalam rumah hanya ada beberapa peralatan yakni: sebuah tungku yang terbuat dari tanah, kayu bakar  yang ia cari di hutan, satu piring, satu sendok yang tampak lusuh, dan beberapa peralatan dapur lain tertata di atas meja tempat ia biasa makan.
      Setiap hari ia hanya ke ladang untuk menanam kedelai, jagung, atau singkong. Walau ambane tegalan (luas ladang) hanya seklasa (seluas tikar), tapi yang penting bisa membuat ia tidak sampai kelaparan. Sekitar jam sembilan ia baru pulang ke rumah, setelah itu ia mandi dan memasak nasi. Ia harus berjalan 1 km menuju sendang (sumber air) untuk mandi dan memasak. Ia jarang sekali makan sayur dan lauk-pauk. Akan tetapi ia juga tidak menolak apabila tetangga memberi sayur dan lauk dalam keadaan mentah atau matang. Atau ketika ada uang lebih, pemberian tetangganya ia baru bisa membeli lauk sendiri. Tiap harinya ia hanya makan dengan sambal. Setelah makan siang ia berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia berjalan dengan memakai sebuah tongkat untuk menyeimbangkan tubuhnya. Lututnya selalu sakit jika ia tidak membawa tongkat ketika berjalan.
       Kedua anaknya Joko dan Rani tidak bersamanya lagi. Sejak kecil mereka diasuh oleh tetangganya, karena Nyi Rakiyem saat itu sudah dalam keadaan sendiri sehingga ia tak mampu lagi untuk mengurusi kedua anaknya. Suaminya minggat setelah ia melahirkan anak keduanya. Kebetulan tetangganya ini juga tidak dikaruniai anak, sehingga ia mau mengangkatnya sebagai anak. Pak Sukri dan ibu Deden namanya, meskipun keduanya hidup serba kekurangan tapi ia sangat sayang dan perhatian kepada keduanya, segala keinginan mereka selalu dituruti. Mereka juga patuh kepadanya. Pak Sukri bekerja sebagai tukang kayu dan ibu Deden bekerja sebagai buruh memasak di rumah tetangganya tapi ia juga bisa menyekolahkan keduanya sampai Perguruan Tinggi. Kadang sebelum berangkat sekolah, mereka selalu berpamitan juga dengan Nyai Rakiyem.
        Setelah selesai kuliah Joko menyampaikan keinginannya untuk menikah. Setahun kemudian Rani juga menerima pinangan dari  anak seorang pengusaha bakso. Setelah menikah Joko dan Rani tidak pernah lagi datang ke kampung halamannya tempat orang tua kandung dan angkatnya berada. Nyi Rakiyem belakangan ini sering sakit-sakitan. Tak ada bayangan lain selain kedua anaknya.

                                         ***

       BERITA di televisi hari ini sangat meruntuhkan hati Joko, ibu yang melahirkannya meninggal karena kelaparan dan sudah 2 hari mati di rumahnya sendiri. Tetangga tahu setelah mencium bau bangkai dari rumah Nyi Rakiem dan sudah 2 hari lampu di depan rumahnya tidak dimatikan. Joko langsung syok dan hampir ia tak kuat untuk berdiri, syaraf-syarafnya seakan lumpuh total. Ia ingin meraih gagang telepon disampingnya, tapi tak mampu semua tampak hitam dan hilang.
    “Yah,,,bangun!” tiba-tiba Cika datang untuk membangunkan ayahnya tapi tak kunjung bangun. Akhirnya ia menangis memanggil mamanya.
      Setelah diberi minyak kayu putih oleh Emi istrinya, Joko bisa bangun lagi dan ia langsung meminta tolong istrinya untuk menelpon Rani. Ia ingin segera memberitahukan kondisi ibu kandungnya dan mengajaknya untuk segera pulang kampung agar bisa mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
      “Assalammualaikum”
      “Wassalammualaikum”
      “Hallo Ran,, ini masmu ayo kita jenguk Ibu ya”
      “Mang da pa dengan ibuk mas? Kok mendadak kesana?”
     “Ibu sakit ja ogg “ ucap Joko. Ia tidak ingin adiknya kaget dengan kabar kematian ibunya, sehingga ia berbohong.
      “Inalillahi, ya kita sekarang kesana mas”
      “Ya dek”
     Dengan mengendarai sebuah mobil sedannya Joko dan Rani berserta keluarganya masing-masing berangkat menuju kampung halaman.  Setelah 3 jam akhirnya mereka sampai di rumah. Akan tetapi, tetap saja ia tidak dapat ikut memakamkan jenazah ibunya, warga memutuskan untuk memakamkannya tanpa menunggu kedatangan kedua anaknya karena kondisi ibunya sudah tidak mungkin untuk  ditunda.
      Rani tampak bingung melihat banyak orang di rumah ibunya dan terlihat ada kursi dan terop di depan rumahnya, tong air serta pecahan kendi (tempat air minum yang terbuat dari tanah liat).
    “Da pa mas sebenarnya?”
    “Aku minta maaf karena aku tadi sempat berbohong, sebenarnya ibu kandung kita sudah meninggal.”
  Rani langsung menangis sejadi-jadinya dan langsung banyak warga kampung merangkulnya untuk dibawa ke dalam rumah, tapi ia menolaknya ia ingin segera pergi ke tempat pemakaman ibunya.
      Saat itu juga mereka langsung menuju tempat pemakaman untuk mendoakan dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan dihari kematiannya pun mereka tidak ada. Banyak tetangga yang berdatangan mengucapkan belasungkawa kepadanya, sore harinya setelah acara kirim doa yang dilakukan para santri di kampung itu berakhir.
      Setelah genap 7 hari, mereka sepakat untuk pulang lagi dan setelah berbicara dengan orang tua angkatnya mereka memutuskan untuk membangun sebuah mushola di rumah ibunya tersebut agar dapat menjadi amal jariyah untuk ibunya. Semua biaya pembangunannya akan di tanggung oleh Joko.




Sesalku



      PAGI ini dunia tersenyum langit pun cerah,,,,sang mentari tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya. Menyinari jagad raya ini karena tanpanya pasti tak ada kehidupan. Burung-burung beterbangan seolah tanpa beban mencari makan dengan santainya. Para petani sudah asyik bekerja membanting tulang, memeras keringat untuk memperoleh sesuap nasi walaupun sering dipermainkan oleh para elit politik.
      Akan tetapi, tak begitu dengan Regiya gadis yang dulu sangat periang kini ia tampak muram dan hanya bisa berbaring di kamarnya yang terlihat acak-acakan, beralaskan tikar, dan ia hanya berselimutkan sebuah jarik, kain tipis yang bercorak batik. Ia memang tampak putus asa dan selalu marah-marah jika teringat kaki kirinya telah diamputasi.
       “Sing sabar nduk,,,ini adalah ujianmu, sampean harus sabar, nrima lan berdoa. Ojo nesu-nesu ae, istighfar nduk,” kata sang ibu dengan raut wajah yang sedih karena anaknya selalu marah-marah ketika ingat kakinya telah diamputasi.
      “Aku salah apa mbok, kok Gusti Allah, midana aku kayak ngene?
      “Sing sabar nduk, jupuk hikmahe ae.”
     Sesekali ia terlihat menyesali perbuatannya karena kejadian ini tidak akan terjadi jika ia mematuhi perintah orang tuanya. Ia selalu membangkang semua perkataan orang tuanya. Sering tidak masuk sekolah, dan kegiatan-kegiatan penyimpangan lain yang dilakukan oleh remaja.

                                                                                 ***

     “RE, tadi ibu mendapat surat panggilan dari sekolahmu yang diantarkan Ela, katanya besok pagi ibu harus ke sekolahmu.”
       “Gak usah datang, mbok! Paling yo suruh mbayar tok!”
     Padahal surat panggilan tersebut untuk memberitahukan bahwa Regiya sudah tidak masuk selama 20 hari tanpa alasan meskipun tidak berturut-turut. Namun, sampai surat yang kesekian kalinya ibu Regiya tetap tidak datang ke sekolah untuk memenuhi permintaan  sekolah.  Regiya setiap pagi juga berangkat ke sekolah dan pulang malam katane ada rapat organisasi.
“Nduk masak tiap hari pulang malam terus ta?”
“Ya mbok, ada rapat organisasi, bulan depan mau ada acara di sekolah.”
“Ya, gak pa pa kalau memang urusan sekolah.”
    Alasan demi alasan ia ucapkan setiap hari untuk menutupi kebohongannya. Namun, nggak lama setelah itu, ketika ibu Regiya masih menanak arem-arem tepatnya pukul 11.45.
“Tok..tok..tok.”
Ibu kaget dan penasaran kenapa jam segini masih ada yang mau bertamu. Setelah suaminya meninggal dunia ia tak pernah lagi kedatangan tamu malam-malam. Apalagi anaknya Regiya sudah pamit tadi sore untuk menginap di rumah temannya dan temanya sudah telepon kalau Regiya sudah sampai di rumahnya.
“Selamat malam, bu. Apa benar ini rumah saudara Regiya?”
“Ya, Pak. Ada keperluan apa ya Pak?”
“Maaf, bu. Anak ibu yang bernama Regiya Ernawati kecelakaan karena July orang yang memboncengnya mabuk berat dan menabrak pembatas jalan. Anak ibu masih di rawat di RSU Soetomo.”
    Setelah polisi pergi dengan perasaan nggak karu-karuan Ibu mencoba menerima dengan ikhlas, cobaan yang diterima dari Tuhan kepadanya. Ia langsung mengambil uang dan tasnya. Kemudian meminta tolong Jeki, tetangganya untuk mengantarkan ke RSU tempat Regiya dirawat.
     Sampai di RSU dokter menyuruhnya untuk menandatangi surat izin bahwa salah satu kaki Regiya harus diamputasi karena kerusakannya sangat parah. Tanpa pikir panjang ia langsung menandatangani surat tersebut. Kata dokter soal biaya akan ditanggung pemerintah jika ibu mau mengurusi surat-surat yang diperlukan.

Torehan Cinta Sang Bunda



NYAI RAKIYEM, nenek tua yang suka  nyusur (menjejali mulutnya dengan sirih, gambir, dan tembakau) selalu memakai baju kemben dan rok jarik (kain batik), rambut di gelung (diikat tapi tidak memakai jepit), serta tidak pernah memakai alas kaki. Ia selalu tinggal sendiri di gubug yang tampak kumuh dan reyot. Di dalam rumah hanya ada beberapa peralatan yakni: sebuah tungku yang terbuat dari tanah, kayu bakar  yang ia cari di hutan, satu piring, satu sendok yang tampak lusuh, dan beberapa peralatan dapur lain tertata di atas meja tempat ia biasa makan.
Setiap hari ia hanya ke ladang untuk menanam kedelai, jagung, atau singkong. Walau ambane tegalan (luas ladang) hanya seklasa (seluas tikar), tapi yang penting bisa membuat ia tidak sampai kelaparan. Sekitar jam sembilan ia baru pulang ke rumah, setelah itu ia mandi dan memasak nasi. Ia harus berjalan 1 km menuju sendang (sumber air) untuk mandi dan memasak. Ia jarang sekali makan sayur dan lauk-pauk. Akan tetapi ia juga tidak menolak apabila tetangga memberi sayur dan lauk dalam keadaan mentah atau matang. Atau ketika ada uang lebih, pemberian tetangganya ia baru bisa membeli lauk sendiri. Tiap harinya ia hanya makan dengan sambal. Setelah makan siang ia berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia berjalan dengan memakai sebuah tongkat untuk menyeimbangkan tubuhnya. Lututnya selalu sakit jika ia tidak membawa tongkat ketika berjalan.
Kedua anaknya Joko dan Rani tidak bersamanya lagi. Sejak kecil mereka diasuh oleh tetangganya, karena Nyi Rakiyem saat itu sudah dalam keadaan sendiri sehingga ia tak mampu lagi untuk mengurusi kedua anaknya. Suaminya minggat setelah ia melahirkan anak keduanya. Kebetulan tetangganya ini juga tidak dikaruniai anak, sehingga ia mau mengangkatnya sebagai anak. Pak Sukri dan ibu Deden namanya, meskipun keduanya hidup serba kekurangan tapi ia sangat sayang dan perhatian kepada keduanya, segala keinginan mereka selalu dituruti. Mereka juga patuh kepadanya. Pak Sukri bekerja sebagai tukang kayu dan ibu Deden bekerja sebagai buruh memasak di rumah tetangganya tapi ia juga bisa menyekolahkan keduanya sampai Perguruan Tinggi. Kadang sebelum berangkat sekolah, mereka selalu berpamitan juga dengan Nyai Rakiyem.
Setelah selesai kuliah Joko menyampaikan keinginannya untuk menikah. Setahun kemudian Rani juga menerima pinangan dari  anak seorang pengusaha bakso. Setelah menikah Joko dan Rani tidak pernah lagi datang ke kampung halamannya tempat orang tua kandung dan angkatnya berada. Nyi Rakiyem belakangan ini sering sakit-sakitan. Tak ada bayangan lain selain kedua anaknya.

***

BERITA di televisi hari ini sangat meruntuhkan hati Joko, ibu yang melahirkannya meninggal karena kelaparan dan sudah 2 hari mati di rumahnya sendiri. Tetangga tahu setelah mencium bau bangkai dari rumah Nyi Rakiem dan sudah 2 hari lampu di depan rumahnya tidak dimatikan. Joko langsung syok dan hampir ia tak kuat untuk berdiri, syaraf-syarafnya seakan lumpuh total. Ia ingin meraih gagang telepon disampingnya, tapi tak mampu semua tampak hitam dan hilang.
“Yah,,,bangun!” tiba-tiba Cika datang untuk membangunkan ayahnya tapi tak kunjung bangun. Akhirnya ia menangis memanggil mamanya.
Setelah diberi minyak kayu putih oleh Emi istrinya, Joko bisa bangun lagi dan ia langsung meminta tolong istrinya untuk menelpon Rani. Ia ingin segera memberitahukan kondisi ibu kandungnya dan mengajaknya untuk segera pulang kampung agar bisa mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
“Assalammualaikum”
“Wassalammualaikum”
“Hallo Ran,, ini masmu ayo kita jenguk Ibu ya”
“Mang da pa dengan ibuk mas? Kok mendadak kesana?”
“Ibu sakit ja ogg “ ucap Joko. Ia tidak ingin adiknya kaget dengan kabar kematian ibunya, sehingga ia berbohong.
“Inalillahi, ya kita sekarang kesana mas”
“Ya dek”
Dengan mengendarai sebuah mobil sedannya Joko dan Rani berserta keluarganya masing-masing berangkat menuju kampung halaman.  Setelah 3 jam akhirnya mereka sampai di rumah. Akan tetapi, tetap saja ia tidak dapat ikut memakamkan jenazah ibunya, warga memutuskan untuk memakamkannya tanpa menunggu kedatangan kedua anaknya karena kondisi ibunya sudah tidak mungkin untuk  ditunda.
Rani tampak bingung melihat banyak orang di rumah ibunya dan terlihat ada kursi dan terop di depan rumahnya, tong air serta pecahan kendi (tempat air minum yang terbuat dari tanah liat).
“Da pa mas sebenarnya?”
“Aku minta maaf karena aku tadi sempat berbohong, sebenarnya ibu kandung kita sudah meninggal.”
Rani langsung menangis sejadi-jadinya dan langsung banyak warga kampung merangkulnya untuk dibawa ke dalam rumah, tapi ia menolaknya ia ingin segera pergi ke tempat pemakaman ibunya.
  Saat itu juga mereka langsung menuju tempat pemakaman untuk mendoakan dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan dihari kematiannya pun mereka tidak ada. Banyak tetangga yang berdatangan mengucapkan belasungkawa kepadanya, sore harinya setelah acara kirim doa yang dilakukan para santri di kampung itu berakhir.
 Setelah genap 7 hari, mereka sepakat untuk pulang lagi dan setelah berbicara dengan orang tua angkatnya mereka memutuskan untuk membangun sebuah mushola di rumah ibunya tersebut agar dapat menjadi amal jariyah untuk ibunya. Semua biaya pembangunannya akan di tanggung oleh Joko.












Sesalku



PAGI ini dunia tersenyum langit pun cerah,,,,sang mentari tak malu-malu lagi menampakkan sinarnya. Menyinari jagad raya ini karena tanpanya pasti tak ada kehidupan. Burung-burung beterbangan seolah tanpa beban mencari makan dengan santainya. Para petani sudah asyik bekerja membanting tulang, memeras keringat untuk memperoleh sesuap nasi walaupun sering dipermainkan oleh para elit politik.
Akan tetapi, tak begitu dengan Regiya gadis yang dulu sangat periang kini ia tampak muram dan hanya bisa berbaring di kamarnya yang terlihat acak-acakan, beralaskan tikar, dan ia hanya berselimutkan sebuah jarik, kain tipis yang bercorak batik. Ia memang tampak putus asa dan selalu marah-marah jika teringat kaki kirinya telah diamputasi.
“Sing sabar nduk,,,ini adalah ujianmu, sampean harus sabar, nrima lan berdoa. Ojo nesu-nesu ae, istighfar nduk,” kata sang ibu dengan raut wajah yang sedih karena anaknya selalu marah-marah ketika ingat kakinya telah diamputasi.
“Aku salah apa mbok, kok Gusti Allah, midana aku kayak ngene?
“Sing sabar nduk, jupuk hikmahe ae.”
Sesekali ia terlihat menyesali perbuatannya karena kejadian ini tidak akan terjadi jika ia mematuhi perintah orang tuanya. Ia selalu membangkang semua perkataan orang tuanya. Sering tidak masuk sekolah, dan kegiatan-kegiatan penyimpangan lain yang dilakukan oleh remaja.

                                           ***

“RE, tadi ibu mendapat surat panggilan dari sekolahmu yang diantarkan Ela, katanya besok pagi ibu harus ke sekolahmu.”
“Gak usah datang, mbok! Paling yo suruh mbayar tok!”
Padahal surat panggilan tersebut untuk memberitahukan bahwa Regiya sudah tidak masuk selama 20 hari tanpa alasan meskipun tidak berturut-turut. Namun, sampai surat yang kesekian kalinya ibu Regiya tetap tidak datang ke sekolah untuk memenuhi permintaan  sekolah.  Regiya setiap pagi juga berangkat ke sekolah dan pulang malam katane ada rapat organisasi.
“Nduk masak tiap hari pulang malam terus ta?”
“Ya mbok, ada rapat organisasi, bulan depan mau ada acara di sekolah.”
“Ya, gak pa pa kalau memang urusan sekolah.”
Alasan demi alasan ia ucapkan setiap hari untuk menutupi kebohongannya. Namun, nggak lama setelah itu, ketika ibu Regiya masih menanak arem-arem tepatnya pukul 11.45.
“Tok..tok..tok.”
Ibu kaget dan penasaran kenapa jam segini masih ada yang mau bertamu. Setelah suaminya meninggal dunia ia tak pernah lagi kedatangan tamu malam-malam. Apalagi anaknya Regiya sudah pamit tadi sore untuk menginap di rumah temannya dan temanya sudah telepon kalau Regiya sudah sampai di rumahnya.
“Selamat malam, bu. Apa benar ini rumah saudara Regiya?”
“Ya, Pak. Ada keperluan apa ya Pak?”
“Maaf, bu. Anak ibu yang bernama Regiya Ernawati kecelakaan karena July orang yang memboncengnya mabuk berat dan menabrak pembatas jalan. Anak ibu masih di rawat di RSU Soetomo.”
Setelah polisi pergi dengan perasaan nggak karu-karuan Ibu mencoba menerima dengan ikhlas, cobaan yang diterima dari Tuhan kepadanya. Ia langsung mengambil uang dan tasnya. Kemudian meminta tolong Jeki, tetangganya untuk mengantarkan ke RSU tempat Regiya dirawat.
Sampai di RSU dokter menyuruhnya untuk menandatangi surat izin bahwa salah satu kaki Regiya harus diamputasi karena kerusakannya sangat parah. Tanpa pikir panjang ia langsung menandatangani surat tersebut. Kata dokter soal biaya akan ditanggung pemerintah jika ibu mau mengurusi surat-surat yang diperlukan.

Drama VB



DAHSYATNYA PENTAS SANDIWARA GERR

Mata kuliah apresiasi drama adalah salah satu mata kuliah yang paling terkesan dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Madiun. Kenapa drama dianggap mata kuliah yang paling terkesan?
       Pertama, setelah mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu menguasai teori sekaligus pengaplikasian teori tersebut yakni melalui kesuksesan pementasan. Kedua, diharapkan dapat menumbuhkan rasa peduli, toleransi, kerjasama, profesionalitas, totalitas antar mahasiswa. Ketiga, dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan mahasiswa ketika terjun di lapangan.
Dalam waktu 4 bulan mahasiswa semester 5 khususnya mahasiswa PBSI 5B yang hanya terdiri dari 32 orang harus mempersiapkan semua meskipun drama merupakan hal yang masih awam. Dana yang dibutuhkan untuk pementasan juga cukup besar. Misalnya, untuk penyutradaraan, konsumsi, produksi, sewa gedung, sewa lighting, sewa backdroup, sewa musik dan level. Uang Rp 15.000.000,00 dikeluarkan untuk pementasan drama. Pimpinan produksinya  Rully Dwi Wahyu Prasetyo, sutradara dan penata lampu Silo Lilo.
Latihan dilakukan pada malam hari mulai pukul 18.30 - 21.30 WIB. . Sepuluh kali pertemuan pertama halnya pemilihan dan bedah naskah Gerr karya Putu Wijaya.  Sepuluh kali pertemuan kedua halnya blocking tanpa naskah.Sepuluh kali pertemuan ketiga halnya penghalusan pemain.
 Pemainnya Lia  Sari sebagai Nenek, Rufik Arifatul Azizah sebagai Ibu Bima, Deni sebagai Sita, Ruli sebagai Bruno, Wachid Bagus Kuncoro sebagai Bima, Wuri dan Bella sebagai Anak, Fredy dan Mahardi sebagai penggali kubur, Sana sebagai Lurah, Emir sebagai Polisi, Reza sebagai Hansip, Jumarni, Dewi, Melisa, Sevi, Dita, dan Joni sebagai pelayat.
Sinopsis naskah Gerr karya Putu Wijaya yakni Bima tiba-tiba mati. Seluruh keluarganya berkabung dan merubung di sekitar peti mati. Duka, suka, berbagai perasaan masing-masing berdesak-desakan ibu, istri, anak saudara, tetangga, teman, tamu, dan petugas keamanan semuanya lengkap hadir. Tak lama lagi bima akan dikubur. Semua orang karena spontanitas, pernyataan yang jujur maupun tegas, serentak menangis  bersama-sama dalam erangan bersama. Mereka mengumpulkan sebuah gelombang yang besar untuk menggulingkan peti mati itu ke dalam liang yang telah menganga. Hanya kedua penggali kubur yang tampak tenang. Mereka menunggu dengan sabar upacara menangis itu yang telah menjadi santapan mereka setiap hari. Dengan dingin dan perasaan yang jauh dari peristiwa itu mereka juga mengisap dan mengepulkan asap rokoknya.
Perang pendapat, ide, dan gagasan antar mahasiswa melihat ketidakadilan selama proses tidak bisa dihindarkan. Namun, tanpa gejolak mungkin takkan ada kesuksesan pada pementasan. Kerjasama, kekompakan, dan keprofesionalitas tetap dijunjung di tengah gejolak yang dialami.
Akhirnya, 4 Februari 2013 pementasan pun terlaksana dengan tepuk tangan pembina, penonton, pelatih, dan undangan yang hadir. Sungguh dahsyat efek yang ditimbulkan dari sebuah pementasan drama.

            Terima kasih kepada bapak Bambang Eko Hari Cahyono selaku Dekan FPBS, bapak Panji Kuncoro selaku Sekprodi, bapak Agus Budi Santoso selaku Kaprodi, dan bapak Dwi Rohman Soleh sebagai pembina. Terima kasih juga  kepada bang Silo yang telah berkenan dengan sabar menyutradarai pentas drama 5B, terima kasih kepada teman-teman yang telah bekerja keras untuk kesuksesan pentas drama kelas 5B.