Torehan Cinta Sang Bunda
NYAI RAKIYEM, nenek tua
yang suka nyusur (menjejali mulutnya dengan sirih, gambir, dan tembakau) selalu
memakai baju kemben dan rok jarik (kain batik), rambut di gelung (diikat tapi tidak memakai jepit), serta tidak pernah
memakai alas kaki. Ia selalu tinggal sendiri di gubug yang tampak kumuh dan
reyot. Di dalam rumah hanya ada beberapa peralatan yakni: sebuah tungku yang
terbuat dari tanah, kayu bakar yang ia
cari di hutan, satu piring, satu sendok yang tampak lusuh, dan beberapa
peralatan dapur lain tertata di atas meja tempat ia biasa makan.
Setiap hari ia hanya ke
ladang untuk menanam kedelai, jagung, atau singkong. Walau ambane tegalan (luas ladang) hanya seklasa (seluas tikar), tapi
yang penting bisa membuat ia tidak sampai kelaparan. Sekitar jam sembilan ia
baru pulang ke rumah, setelah itu ia mandi dan memasak nasi. Ia harus berjalan
1 km menuju sendang (sumber air)
untuk mandi dan memasak. Ia jarang sekali makan sayur dan lauk-pauk. Akan
tetapi ia juga tidak menolak apabila tetangga memberi sayur dan lauk dalam
keadaan mentah atau matang. Atau ketika ada uang lebih, pemberian tetangganya
ia baru bisa membeli lauk sendiri. Tiap harinya ia hanya makan dengan sambal.
Setelah makan siang ia berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia berjalan
dengan memakai sebuah tongkat untuk menyeimbangkan tubuhnya. Lututnya selalu
sakit jika ia tidak membawa tongkat ketika berjalan.
Kedua anaknya Joko dan
Rani tidak bersamanya lagi. Sejak kecil mereka diasuh oleh tetangganya, karena
Nyi Rakiyem saat itu sudah dalam keadaan sendiri sehingga ia tak mampu lagi
untuk mengurusi kedua anaknya. Suaminya minggat setelah ia melahirkan anak
keduanya. Kebetulan tetangganya ini juga tidak dikaruniai anak, sehingga ia mau
mengangkatnya sebagai anak. Pak Sukri dan ibu Deden namanya, meskipun keduanya
hidup serba kekurangan tapi ia sangat sayang dan perhatian kepada keduanya,
segala keinginan mereka selalu dituruti. Mereka juga patuh kepadanya. Pak Sukri
bekerja sebagai tukang kayu dan ibu Deden bekerja sebagai buruh memasak di
rumah tetangganya tapi ia juga bisa menyekolahkan keduanya sampai Perguruan
Tinggi. Kadang sebelum berangkat sekolah, mereka selalu berpamitan juga dengan
Nyai Rakiyem.
Setelah selesai kuliah
Joko menyampaikan keinginannya untuk menikah. Setahun kemudian Rani juga
menerima pinangan dari anak seorang
pengusaha bakso. Setelah menikah Joko dan Rani tidak pernah lagi datang ke
kampung halamannya tempat orang tua kandung dan angkatnya berada. Nyi Rakiyem
belakangan ini sering sakit-sakitan. Tak ada bayangan lain selain kedua
anaknya.
***
BERITA di televisi hari
ini sangat meruntuhkan hati Joko, ibu yang melahirkannya meninggal karena
kelaparan dan sudah 2 hari mati di rumahnya sendiri. Tetangga tahu setelah
mencium bau bangkai dari rumah Nyi Rakiem dan sudah 2 hari lampu di depan
rumahnya tidak dimatikan. Joko langsung syok dan hampir ia tak kuat untuk
berdiri, syaraf-syarafnya seakan lumpuh total. Ia ingin meraih gagang telepon
disampingnya, tapi tak mampu semua tampak hitam dan hilang.
“Yah,,,bangun!”
tiba-tiba Cika datang untuk membangunkan ayahnya tapi tak kunjung bangun.
Akhirnya ia menangis memanggil mamanya.
Setelah diberi minyak
kayu putih oleh Emi istrinya, Joko bisa bangun lagi dan ia langsung meminta
tolong istrinya untuk menelpon Rani. Ia ingin segera memberitahukan kondisi ibu
kandungnya dan mengajaknya untuk segera pulang kampung agar bisa mengantarkan
ibunya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
“Assalammualaikum”
“Wassalammualaikum”
“Hallo Ran,, ini masmu ayo kita jenguk Ibu ya”
“Mang da pa dengan ibuk
mas? Kok mendadak kesana?”
“Ibu sakit ja ogg “
ucap Joko. Ia tidak ingin adiknya kaget dengan kabar kematian ibunya, sehingga
ia berbohong.
“Inalillahi,
ya kita sekarang kesana mas”
“Ya dek”
Dengan mengendarai
sebuah mobil sedannya Joko dan Rani berserta keluarganya masing-masing
berangkat menuju kampung halaman.
Setelah 3 jam akhirnya mereka sampai di rumah. Akan tetapi, tetap saja
ia tidak dapat ikut memakamkan jenazah ibunya, warga memutuskan untuk
memakamkannya tanpa menunggu kedatangan kedua anaknya karena kondisi ibunya sudah
tidak mungkin untuk ditunda.
Rani tampak bingung
melihat banyak orang di rumah ibunya dan terlihat ada kursi dan terop di depan
rumahnya, tong air serta pecahan kendi
(tempat air minum yang terbuat dari tanah liat).
“Da pa mas sebenarnya?”
“Aku minta maaf karena
aku tadi sempat berbohong, sebenarnya ibu kandung kita sudah meninggal.”
Rani langsung menangis
sejadi-jadinya dan langsung banyak warga kampung merangkulnya untuk dibawa ke
dalam rumah, tapi ia menolaknya ia ingin segera pergi ke tempat pemakaman
ibunya.
Saat itu juga mereka langsung menuju tempat
pemakaman untuk mendoakan dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua dan dihari kematiannya pun mereka tidak ada. Banyak
tetangga yang berdatangan mengucapkan belasungkawa kepadanya, sore harinya setelah
acara kirim doa yang dilakukan para santri di kampung itu berakhir.
Setelah genap 7 hari, mereka sepakat untuk
pulang lagi dan setelah berbicara dengan orang tua angkatnya mereka memutuskan
untuk membangun sebuah mushola di rumah ibunya tersebut agar dapat menjadi amal
jariyah untuk ibunya. Semua biaya pembangunannya akan di tanggung oleh Joko.
Sesalku
PAGI ini dunia
tersenyum langit pun cerah,,,,sang mentari tak malu-malu lagi menampakkan
sinarnya. Menyinari jagad raya ini karena tanpanya pasti tak ada kehidupan.
Burung-burung beterbangan seolah tanpa beban mencari makan dengan santainya.
Para petani sudah asyik bekerja membanting tulang, memeras keringat untuk
memperoleh sesuap nasi walaupun sering dipermainkan oleh para elit politik.
Akan tetapi, tak begitu
dengan Regiya gadis yang dulu sangat periang kini ia tampak muram dan hanya
bisa berbaring di kamarnya yang terlihat acak-acakan, beralaskan tikar, dan ia
hanya berselimutkan sebuah jarik,
kain tipis yang bercorak batik. Ia memang tampak putus asa dan selalu
marah-marah jika teringat kaki kirinya telah diamputasi.
“Sing sabar nduk,,,ini adalah ujianmu, sampean harus sabar, nrima lan berdoa. Ojo nesu-nesu ae, istighfar nduk,”
kata sang ibu dengan raut wajah yang sedih karena anaknya selalu marah-marah
ketika ingat kakinya telah diamputasi.
“Aku salah apa mbok, kok Gusti Allah, midana aku kayak ngene?
“Sing sabar nduk, jupuk hikmahe ae.”
Sesekali ia terlihat
menyesali perbuatannya karena kejadian ini tidak akan terjadi jika ia mematuhi
perintah orang tuanya. Ia selalu membangkang semua perkataan orang tuanya.
Sering tidak masuk sekolah, dan kegiatan-kegiatan penyimpangan lain yang
dilakukan oleh remaja.
***
“RE, tadi ibu mendapat
surat panggilan dari sekolahmu yang diantarkan Ela, katanya besok pagi ibu
harus ke sekolahmu.”
“Gak usah datang, mbok! Paling yo suruh mbayar tok!”
Padahal surat panggilan
tersebut untuk memberitahukan bahwa Regiya sudah tidak masuk selama 20 hari
tanpa alasan meskipun tidak berturut-turut. Namun, sampai surat yang kesekian
kalinya ibu Regiya tetap tidak datang ke sekolah untuk memenuhi permintaan sekolah.
Regiya setiap pagi juga berangkat ke sekolah dan pulang malam katane ada
rapat organisasi.
“Nduk masak tiap hari
pulang malam terus ta?”
“Ya mbok, ada rapat organisasi, bulan depan
mau ada acara di sekolah.”
“Ya, gak pa pa kalau memang urusan sekolah.”
Alasan demi alasan ia
ucapkan setiap hari untuk menutupi kebohongannya. Namun, nggak lama setelah
itu, ketika ibu Regiya masih menanak arem-arem
tepatnya pukul 11.45.
“Tok..tok..tok.”
Ibu kaget dan penasaran
kenapa jam segini masih ada yang mau bertamu. Setelah suaminya meninggal dunia
ia tak pernah lagi kedatangan tamu malam-malam. Apalagi anaknya Regiya sudah
pamit tadi sore untuk menginap di rumah temannya dan temanya sudah telepon
kalau Regiya sudah sampai di rumahnya.
“Selamat malam, bu. Apa
benar ini rumah saudara Regiya?”
“Ya, Pak. Ada keperluan
apa ya Pak?”
“Maaf, bu. Anak ibu
yang bernama Regiya Ernawati kecelakaan karena July orang yang memboncengnya
mabuk berat dan menabrak pembatas jalan. Anak ibu masih di rawat di RSU
Soetomo.”
Setelah polisi pergi dengan
perasaan nggak karu-karuan Ibu
mencoba menerima dengan ikhlas, cobaan yang diterima dari Tuhan kepadanya. Ia
langsung mengambil uang dan tasnya. Kemudian meminta tolong Jeki, tetangganya
untuk mengantarkan ke RSU tempat Regiya dirawat.
Sampai di RSU dokter
menyuruhnya untuk menandatangi surat izin bahwa salah satu kaki Regiya harus
diamputasi karena kerusakannya sangat parah. Tanpa pikir panjang ia langsung
menandatangani surat tersebut. Kata dokter soal biaya akan ditanggung
pemerintah jika ibu mau mengurusi surat-surat yang diperlukan.